BATAM – Persoalan lahan di Batam memang tampaknya cukup pelik jika diurai. Saat ini, lahan di Batam bisa dikatakan semacam harta karun yang bisa membuat orang mendadak jadi kaya raya jika memiliki legalitas atau mendadak jatuh miskin dan terasing ke tempat yang tak pernah dibayangkan sebelumnya.
Tak ayal, jika banyak orang berebut bahkan berkonflik berkepanjangan mengenai lahan di Batam. Apalagi status lahan di Batam sedikit lebih unik dari daerah lainnya di Indonesia.
Sebagian besar lahan memang hanya bisa memiliki status Hak Guna Bangunan (HGB), bukan Hak Milik (HM), karena status tanah di Batam sebagian besar berada di bawah Hak Pengelolaan Lahan (HPL) Badan Pengusahaan (BP) Batam. Itu semua mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 40 Tahun 1996 yang telah direvisi oleh PP No. 18 Tahun 2021 Tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah.
Bahkan, belum genap sepekan yang lalu Komisi VI DPR-RI menurunkan Tim Panitia Kerja (Panja) pengawasan tata kelola kawasan Batam yang fokus mengawal isu-isu agraria atas pelbagai laporan masyarakat Batam, Jumat 18 Juli 2025.
Tujuan utama dari tim Panja Komisi VI ini adalah untuk memastikan pengelolaan kawasan Batam yang lebih baik.

Dua hari yang lalu, tepatnya Selasa 22 Juli 2025. Seorang Ketua Rukun Warga (RW) 06 Kampung Belian Tua, Kelurahan Belian, Bolia menceritakan persoalan lahan yang sedang mereka alami kepada wartawan BeritaBenar, Group Media SwaraKepri. Kampung Belian Tua tempat ia bermukim dan mengurus keperluan warga terancam hilang karena BP Batam telah menerbitkan alokasi lahan berupa Penetapan Lokasi (PL) seluas 5.645 M² kepada PT Artha Wijaya Sakti perusahaan yang baru saja terbit akta notarisnya pada tahun 2023 lalu.
”Kami merasa lemah, jiwa kami ini. Karena kampung kami sudah dialokasikan,” ujarnya lirih.
Saat ditemui di rumahnya, Bolia tampak gundah dengan persoalan tersebut. Yang ia pikirkan, siapakah yang bisa menyelesaikan atau siapa pihak yang dapat membantu mempertahankan kampung seluas 6000 M² ini? Agar mereka bisa tetap eksis menetap di kampung Belian Tua itu sampai ke anak-cucu nya nanti.
Menurut pengakuan, Bolia, kampung Belian Tua itu merupakan warisan turun-temurun dari leluhurnya nelayan Melayu tempatan sejak abad ke 18. Ia mengetahui hal ini berdasarkan penuturan orang tua-tua terdahulu dan dari dokumen-dokumen dan barang-barang bersejarah yang ada hingga sampai akhirnya ke generasinya.

Kata dia, masyarakat kampung Belian Tua ini merupakan generasi ketujuh sejak perkampungan tersebut pertama kali dibuka oleh orang tua Atok Geno [Habibullah] dari keluarga Siti Awal [Kakak Atok Geno] di Kampung Belian Teluk Tering, Kelurahan Belian.
Kemudian terjadi huru-hara pada awal tahun 1990-an antara pemerintah [Otorita Batam] dengan masyarakat Melayu, sehingga akhirnya mereka tergeser dan dipindahkan dari sana.
”Keberadaan kami saat ini terancam! Sedikit demi sedikit, dari tahun ke tahun, keberadaan kami tergeser dari kampung kami sendiri,”ucapnya.
Untuk itu, Bolia berharap, BP Batam yang dulunya bernama Otorita Batam untuk dapat memperhatikan keberadaan mereka sebagai masyarakat tempatan suku Melayu, paling tidak — tidak membuang sejarah yang ada.

Perusahaan Mencoba Melobi Warga
Sejak PL tersebut didapatkan oleh PT Artha Wijaya Sakti, Bolia mengaku bahwa ada pihak perusahaan mencoba berkomunikasi dengan warga setempat. Komunikasi ini merupakan bagian dari upaya lobi-lobi perusahaan kepada warga agar dapat mengosongkan lahan tersebut.
Akan tetapi, Bolia merasa meskipun perusahaan telah mendapatkan PL dari BP Batam — untuk masalah kepemilikan tanah tersebut masih lah tetap milik pihaknya yang telah diwariskan secara turun-temurun.
”Setahu kami, lahan tersebut masih milik kami. Bukan milik BP Batam. Kenapa BP Batam ini mengalokasikan lahan tersebut tanpa sepengetahuan kami?,” tanya Bolia.
Kata dia, lahan seluas 6000 M² ini merupakan sisa-sisa lahan di dalam kampung Belian Tua. Itu pun sudah dihuni oleh penduduk dan juga telah berdiri sebuah Masjid yang menjadi satu-satu tempat ibadah umat muslim di RT 01/RW 06 kampung Belian Tua yang jumlahnya mencapai 600 KK.
Lantas, ia juga mempertanyakan keputusan BP Batam menerbitkan PL kepada perusahaan yang dinilai tumpang-tindih dengan PL Masjid tersebut.
”Jadi, PL tersebut ditimpa dengan PL Masjid Al-Furqon yang telah lebih dahulu terbit,” ujarnya.
Sebulan lalu, pihak perusahaan melalui perwakilannya mengundang warga untuk menghadiri sebuah pertemuan di Hotel Hokkie, Nongsa untuk mencari solusi. Pertemuan ini juga dihadiri oleh perwakilan Lurah Belian, perwakilan Camat Batam Kota, Babinkamtibmas, dan Babinsa.
”Jadi, kami menghadiri undangan tersebut. Dalam pertemuan itu memang belum ada titik-temunya. Sehingga, kami menilai dipertemuan itu BP Batam tidak dilibatkan, kami juga tidak tahu kenapa tidak dilibatkan. Padahal BP Batam yang mengalokasikan,” kata dia.
Persepsinya atas pertemuan ini, seolah-olah warga harus berhadapan dengan perusahaan. Maka kesimpulan pihaknya atas solusi atau tawaran dari pihak perusahaan yaitu menolak.
Mengenai apa tawaran perusahaan kepada warga, Bolia mengatakan bahwa ada iming-iming ganti rugi kepada warga yang memiliki rumah di sana. Kemudian akan disediakan kavling kemungkinan di Punggur, Nongsa dan ia merasa solusi tersebut tidaklah adil.
”Kami merasa tidak adil. Kami orang sini kok bisa pindah ke Nongsa. Sementara orang luar bisa tinggal di sini. Kok terbalik-balik? Bahasa Melayu nya kayak carut-marut begitu,” ungkapnya.
Yang pihaknya mau adalah, mereka tetap tinggal dan bermukim di sana sampai anak cucu nanti, meskipun lahan yang tersisa hanya tinggal sedikit.
Usai pertemuan pertama tidak mendapat kesepakatan, Bolia mengatakan bahwa perwakilan Camat Batam Kota memberikan rekomendasi untuk dapat menggelar mediasi lanjutan dengan melibatkan BP Batam.
Selain itu, terdapat juga pesan dari Babinkamtibmas, yaitu, selagi belum ada keputusan yang pasti — jangan ada kegiatan-kegiatan yang menimbulkan dampak negatif demi menjaga kondusifitas di Kelurahan Belian.

Warga Surati Kepala BP Batam
Atas persoalan ini, Bolia mengatakan bahwa pihaknya telah menyurati Kepala BP Batam mengenai permohonan klarifikasi dan penolakan alokasi lahan PT Artha Wijaya Sakti dengan No PL: 224092125 yang diperuntukkan untuk perumahan.
Ada 6 poin yang disampaikan pihaknya, yakni: Pertama, bahwa lahan tersebut dalam penguasaan kami sejak tahun 1942 dari orangtua kami sampai turun-temurun di Belian, kota Batam. Dengan berdirinya bangunan rumah keluarga kami, tempat tinggal beserta Masjid yang sudah ada PL dan legalitas, tempat kami beribadah. Kedua, lahan tersebut telah dicadangkan kepada keluarga kami untuk tempat tinggal. Dan kami belum pernah dibebaskan lahan yang dimaksud oleh BP Batam.
Ketiga, kami warga Melayu asli tempatan turun-temurun sangat keberatan dan menolak untuk dialokasikan ke pihak PT Artha Wijaya Sakti di dalam area/kawasan kampong kami yang hanya tinggal sedikit lagi lahan yang tersisa 6000 M² dengan total keseluruhan lahan tersebut seluas 23 hektar +-. Keempat, dan kami menyerahkan sebagian besar lahan kami, tanah wilayah kepada BP Batam untuk dikembangkan demi pembangunan kota Batam.
Kelima, dan kami juga meminta agar kantor Badan Pertanahan Nasional [BPN] kota Batam tidak menerbitkan sertifikat kepada PT yang bersangkutan masih dalam sengketa untuk ditinjau kembali. Keenam, sangat besar harapan kami kepada BP Batam untuk merevisi kembali atas lahan kami tersebut dan mempertimbangkan rasa keadilan, kearifan lokal dan bijaksana agar kami tidak terbuang dari kampong kami sendiri. Dan kami mohon alokasi tersebut dibatalkan dan dialihkan kepada kami kembali.
12 Bangunan Masuk Dalam PL PT Artha Wijaya Sakti
Bolia mengatakan, terdapat 12 bangunan yang masuk dalam PL perusahaan. 11 bangunan rumah tinggal, dan 1 bangunan rumah ibadah [Masjid]. Selain itu, dalam perancangan pihaknya di lahan tersebut juga hendak dibuat fasilitas umum [Fasum] untuk masyarakat. Karena di kampung tersebut belum ada Fasum, sementara perumahan sekitarnya sudah ada.
”Fasum ini juga penting bagi kami, masa di perumahan ada Fasum sementara di kampung kami tidak ada?,”
Bolia menegaskan bahwa dirinya bukanlah anti pembangunan, tetapi ia berharap pembangunan yang dicanangkan pemerintah itu janganlah sampai menghilangkan keberadaan masyarakat Melayu tempatan di sana.
”Kami sedikit pun tidak menghalangi pembangunan. Silahkan melakukan pembangunan. Tapi, tolong perhatikan kami! Agar kami bisa bersama-sama tumbuh. Tetap tidak hilang Melayu di Bumi. Itu besar harapan kami,”
Masyarakat Bersedia Membayar UWT BP Batam
Pada tahun 2018 lalu, kata Bolia, pihaknya pernah melakukan rapat koordinasi dengan Ditpam BP Batam setelah masyarakat sempat memasukkan surat penolakan berkali-kali terhadap pengalokasian lahan di KP. Belian Tua.
Rapat koordinasi ini difasilitasi oleh PLH. Kasubdit Pam Lingkungan & Kehutanan BP Batam, Puraem O Sinambela untuk melakukan pembenahan dan penataan terhadap kampung mereka.
Bolia mengaku bahwa masyarakat bersedia membayar Uang Wajib Tahunan (UWT) BP Batam secara keseluruhan. Informasi yang didapatkan dari BP Batam untuk total keseluruhan UWT lahan 6000 M² ini sekitar Rp. 670-an juta tetapi lahan tersebut diserahkan kepada mereka.
Sehingga dapatlah kesepakatan bersama dalam Berita Acara Rapat Penataan Kavling RT 01/RW 06 Keluruhan Belian tertanggal 27 September 2018, sebagai berikut: Satu, akan dilakukan penataan kavling RT 01, RW 06 Keluruhan Belian. Dua, warga dipersiapkan untuk pergeseran/pindah bangunan sementara guna dilakukan clearing di lokasi untuk dijadikan kavling sesuai site plan [penataan].
Tiga, aturan pengajuan alokasi kavling, lahan harus sudah dilakukan pengukuran dan clearing yang sesuai ketentuan/site plan. Empat, pengukuran sesuai persetujuan bersama [RT/RW dan Ditpam] akan dilaksanakan pada hari Sabtu, 29 September 2018 pukul 10:00 WIB. Lima, selanjutnya alat berat akan masuk guna clearing lokasi lahan [sesuai persetujuan bersama].
Enam, penetapan/pengaturan kavling ditentukan oleh warga dikoordinir oleh RT/RW. Tujuh, kavling nantinya akan mendapatkan legalitas dari BP Batam. Delapan, Ditpam akan membantu memberikan rekomendasi pengurusan administrasi legalitas kavling.
Delapan poin kesepakatan yang tertulis dalam berita acara rapat ini, kata Bolia, belum ada satu pun yang terealisasi. Terkait apa kendalanya, ia juga kurang begitu mengetahui secara pasti. Makanya pihaknya masih menunggu realisasi kesepakatan tersebut.
”Kalau sudah ada penetapan dari BP Batam kan langsung kita bisa bayar UWT-nya. Tapi, sejak saat itu tidak ada lagi kabarnya,” bebernya.
Namun, sekarang sudah berbeda cerita. Selagi ia menunggu penetapan BP Batam, ternyata BP Batam malah menerbitkan PL ke PT Artha Wijaya Sakti di lokasi lahan tersebut.

Apa Kata Perusahaan?
Pada Rabu 23 Juli 2025, BeritaBenar mencoba mendatangi kantor PT Artha Wijaya Sakti untuk melakukan konfirmasi atas sengketa lahan di kampung Belian Tua tersebut. Saat itu, kami belum bisa bertemu langsung dengan Direksi perusahaan. Namun, staf kantor menghubungkan kami kepada, Mursalim Molakana yang diketahui sebagai penerima kuasa Direktur PT Artha Wijaya Sakti, Sunardi seorang pengusaha asal Jakarta.
Melalui sambungan telepon seorang staf kantor tersebut, Mursalim Molakana menanyakan keperluan kami mendatangi kantor perusahaan. Kami kemudian menjelaskan maksud dan tujuan, yakni, ingin melakukan konfirmasi sekaligus meminta waktu wawancara mengenai sengketa lahan tersebut.
Setelah mendengar maksud dan tujuan kami, Mursalim Molakana kemudian mengajak kami untuk bertemu agar dapat dijelaskan secara langsung permasalahan tersebut. Kami kemudian sepakat atas tawaran ini, kemudian diagendakan bakda Dzuhur untuk bertemu di kedai kopi sekitaran Mall Botania 2.
Singkatnya, dipertemuan ini, Mursalim Molakana menjelaskan bahwa PT Artha Wijaya Sakti telah mengantongi legalitas resmi dari BP Batam, yaitu berupa PL dengan total luasan 5645 M² dan telah lunas membayar faktur UWT BP Batam selama 30 tahun ke depan. Ia ditugaskan oleh perusahaan untuk pengosongan, pembongkaran, membersihkan dan melakukan suatu tindakan yang diperlukan atas bangunan yang berdiri di atas PL perusahaan.
Mursalim Molakana membenarkan bahwa telah terjadi pertemuan dengan warga setempat di Hotel Hokkie, Nongsa yang dihadiri perwakilan Muspika Batam Kota dan perwakilan Lurah Belian.
Penjelasan kemudian dilanjutkan oleh, Amir keponakan Mursalim Molakana yang juga menerima kuasa dari Direktur perusahaan. Kata dia, setelah pihaknya melakukan pengecekan titik koordinat, terdapat sebelas rumah warga yang berdiri di atas PL perusahaan.
”Sampai hari ini, Alhamdulillah kita masuk sosialisasi dengan warga secara baik. Warga-warga tersebut kita panggil dan kita selesaikan dengan secara baik,” ujarnya.
Dalam waktu dekat ini, lanjut Amir, kemungkinan dari sebelas rumah warga, delapan rumah sudah siap keluar dari lokasi tersebut. “Kita selesaikan dengan ganti rugi kavling dan uang paku. Sudah ada kesepakatan hanya tinggal menunggu waktu saja,” sambungnya.
Terhadap tiga rumah warga yang tersisa, pihaknya masih berupaya melakukan negosiasi untuk dilakukan ganti rugi bangunan. Ketiga rumah tersebut atas nama, Bolia, Rasiman dan Rahmat yang masih belum deal dengan perusahaan.
Amir menegaskan, mengenai PL Artha Wijaya Sakti pihak perusahaan sudah membayar lunas faktur UWT-nya. “Kalau untuk total berapa yang dibayarkan saya kurang begitu tahu berapa nilainya. Itu mungkin internal perusahaan ke BP Batam,” kata dia.
Selanjutnya, terkait penyediaan kavling, Amir mengatakan hal itu mungkin antar perusahaan yang mengurus dengan penyedia kavling. “Untuk nilainya saya juga kurang begitu tahu. Namun, untuk uang paku itu bervariasi. Uang paku yang tertinggi itu ada Rp. 13 juta dan yang terendah itu Rp. 3 juta untuk satu rumah,” jelasnya.
”Untuk delapan rumah itu sudah disepakati tinggal hanya pembayaran. Jadi, apa pun hak-hak warga itu pasti kita bayarkan. Seperti bangunan, kandang ternak, tanam tumbuh, semuanya kita selesaikan,” pungkasnya.
Penulis: Muhammad Shafix